The Universe And Us
Authored by: Muhajir Muslim Jr
Edited by: Anwar Mc Noo
Jika dipikir mendalam, kita dan semesta, adakah berhubungan? Apakah semesta ada lantaran kita dicipta? Ataukah kita lahir tersebab semesta diadakan?
Kalau bisa sedikit merenung, tiap satu dari kita, ada saatnya untuk meninggalkan dunia ini, bukan? Dalam artian, dunia ini hanya untuk kita bersinggah sebentar. Tidakkah artinya semesta ada karena kita? Hakikatnya, sesuatu yang lebih lama keberadaannya, menjadi wadah untuk sesuatu yang sementara.
Meski begitu, banyak di antara kita yang acap kali teralpakan dari membaca. Melihat lebih dan lebih lagi kepada semesta. Lantas, tidak sedikit dari kita yang tersilap, bahwa pada perjalanan ini mestinya lebih sering mensyukuri. Bukannya serakah pada kenikmatan.
Malah ketika gemuruh amarah bermunculan di bumi yang kita pijak, masih saja banyak yang tak mengerti, bahwa kita sedang lalai dari membaca. Atau mungkin banyak yang tersadar, namun barang sebentar, kita kembali melupakan hakikat, apa sebenarnya pesan dari langit melalui bumi.
Pada beberapa kesempatan, terkadang saat diberi sepatu bagus maupun kursi, kita sudah merasa bak pangeran ataupun raja.
Apatah salahnya sesekali memakai sepatu usang, lalu berjingkrak ria bersama kaki-kaki yang sudah terbiasa kumuh? Bukankah hal bagus, saat kita tersenyum bersama bibir-bibir yang merekah walau dibalik keceriaan itu ada banyak kesusahan yang dilewati?
Bukan hal yang buruk, kita sering meninggalkan kursi, bermain ke pojok-pojok ruangan, meskipun tidak terlalu terang, namun banyak harapan dan kekuatan tekad yang tak pernah pudur. Indah bukan ketika kita bisa berbagi tentang kesenangan, bercengkrama soal cita-cita masa depan.
Sayangnya, tidak sedikit dari kita hanya membanggakan sepatu bagus masing-masing. Atau terlalu enggan untuk beranjak dari kursi yang terasa nyaman diduduki. Terlupa bahwa ada yang harus kita baca dan renungkan.
Ataukah memang ini huru-hara akhir zaman? Ego pada duniawi makin menggunung, keserakahan kian melangit.
Jika membaca semesta ini saja sering terlengah, bagaimana kita akan menulis takdir setelah meninggalkan semesta?
Edited by: Anwar Mc Noo
IN THE NAME OF ALLAH THE MOST GRACIOUS THE MOST MERCIFUL
“Oleh sebab itu maka bertambah tinggi perjalanan akal, bertambah banyak alat pengetahuan yang dipakai, pada akhirnya bertambah tinggi pulalah martabat Iman dan Islam seseorang”
― Hamka, Falsafah Ketuhanan
Jika dipikir mendalam, kita dan semesta, adakah berhubungan? Apakah semesta ada lantaran kita dicipta? Ataukah kita lahir tersebab semesta diadakan?
Kalau bisa sedikit merenung, tiap satu dari kita, ada saatnya untuk meninggalkan dunia ini, bukan? Dalam artian, dunia ini hanya untuk kita bersinggah sebentar. Tidakkah artinya semesta ada karena kita? Hakikatnya, sesuatu yang lebih lama keberadaannya, menjadi wadah untuk sesuatu yang sementara.
Meski begitu, banyak di antara kita yang acap kali teralpakan dari membaca. Melihat lebih dan lebih lagi kepada semesta. Lantas, tidak sedikit dari kita yang tersilap, bahwa pada perjalanan ini mestinya lebih sering mensyukuri. Bukannya serakah pada kenikmatan.
Malah ketika gemuruh amarah bermunculan di bumi yang kita pijak, masih saja banyak yang tak mengerti, bahwa kita sedang lalai dari membaca. Atau mungkin banyak yang tersadar, namun barang sebentar, kita kembali melupakan hakikat, apa sebenarnya pesan dari langit melalui bumi.
Pada beberapa kesempatan, terkadang saat diberi sepatu bagus maupun kursi, kita sudah merasa bak pangeran ataupun raja.
Apatah salahnya sesekali memakai sepatu usang, lalu berjingkrak ria bersama kaki-kaki yang sudah terbiasa kumuh? Bukankah hal bagus, saat kita tersenyum bersama bibir-bibir yang merekah walau dibalik keceriaan itu ada banyak kesusahan yang dilewati?
Bukan hal yang buruk, kita sering meninggalkan kursi, bermain ke pojok-pojok ruangan, meskipun tidak terlalu terang, namun banyak harapan dan kekuatan tekad yang tak pernah pudur. Indah bukan ketika kita bisa berbagi tentang kesenangan, bercengkrama soal cita-cita masa depan.
Sayangnya, tidak sedikit dari kita hanya membanggakan sepatu bagus masing-masing. Atau terlalu enggan untuk beranjak dari kursi yang terasa nyaman diduduki. Terlupa bahwa ada yang harus kita baca dan renungkan.
Ataukah memang ini huru-hara akhir zaman? Ego pada duniawi makin menggunung, keserakahan kian melangit.
Jika membaca semesta ini saja sering terlengah, bagaimana kita akan menulis takdir setelah meninggalkan semesta?
Comments
Post a Comment